Arwana Entertainment

Jumat, 17 Agustus 2007

Tukul, Pinjal dan Kotak Korek Api

Berbahagialah Tukul Arwana. Pelawak yang dulunya pernah berprofesi sebagai
sopir pribadi itu kini sudah menjadi milyuner. Hebatnya lagi, sudah tajir
tenar pula. Itu semua bisa terjadi karena Tukul bukan pinjal. Lho, apa
hubungannya?

Ya, sebagai seorang entertainer Tukul adalah sosok yang berhasil. Acaranya
di televisi ditonton jutaan pemirsa. Kehadirannya selalu dinantikan.
Orang-orang sepertinya tak bosan menatap wajahnya, yang tidak ganteng itu,
di layar kaca. Namun jangan salah, apa yang dia dapat saat ini bukan sesuatu
yang instan. Seperti diakuinya, ia bersusah payah melampaui proses yang
tidak selalu indah sebelum sukses seperti sekarang. Buktinya, ia pernah
menjadi sopir pribadi, pembawa lampu untuk shooting video, penyiar radio dan
melakukan apa saja (yang halal tentunya) untuk bertahan hidup di Jakarta.
Harus diakui, Tukul punya semangat dan hasrat yang kuat untuk sukses dan ia
terus bergerak untuk meraih impian suksesnya itu. Dalam sebuah wawancara
dengan sebuah media cetak, Tukul mengibaratkan dirinya seperti mata pisau
yang jelek, tapi terus diasah hingga menjadi tajam.

“Berjuang dengan butiran kristal keringat tentu berbeda dengan mereka yang
instan. Saya sudah kenyang diremehkan, dicaci dan dicibir. Saya jalan dari
satu kampung ke kampung yang lain, dari satu panggung ke panggung yang lain.
Dan, inilah yang sekarang saya terima,” begitu kata Tukul.
Menyimak perjalanan sukses Tukul, saya jadi teringat kisah (tepatnya
eksperimen) mengenai kutu anjing yang dimasukkan dalam sebuah kotak korek
api yang dituturkan sahabat saya Indrawan Nugroho dari Kubik Leadership.
Kutu anjing alias pinjal konon merupakan salah satu pelompat terhebat di
dunia. Ditopang kaki-kaki yang kuat, dengan ukuran tubuh yang hanya 1-2 mm
binatang ini mampu melompat 300 kali tinggi tubuhnya. Namun, apa yang
terjadi ketika ia dimasukkan dalam sebuah kotak korek api kosong lalu
dibiarkan di sana selama satu hingga dua minggu? Talentanya yang hebat itu
tiba-tiba saja musnah. Si pinjal sekarang hanya mampu melompat setinggi
kotak korek api saja!

Rupanya itu adalah buah dari akumulasi pengalamannya ketika dimasukkan dalam
kotak korek api. Di dalam sana ia mencoba melompat tinggi, tapi karena
selalu terbentur dinding kotak korek api ia kemudian mulai meragukan
kemampuannya. Sampai akirnya ia menyesuaikan loncatannya dengan tinggi kotak
korek api. Aman. Dia tidak terbentur. Dia pun menemukan keyakinan baru bahwa
kemampuan melompatnya hanya setinggi kotak korek api.
Nah, ketika dia dikeluarkan dari kotak korek api, rupanya keyakinan barunya
tersebut terpatri betul di benaknya, “Aku hanya mampu meloncat setinggi
kotak korek api.” Alhasil, si pinjal pun hidup seperti itu hingga akhir
hayatnya: Melompat setinggi kotak korek api! Kemampuan yang sesungguhnya
tidak tampak. Kehidupannya telah dibatasi oleh lingkungannya.

Bagi kita, kotak korek api itu adalah segala sesuatu yang ada di luar kita.
Sesuatu yang menghambat usaha menampilkan potensi kita yang sesungguhnya. Ia
bisa berupa omongan, cibiran, cemoohan atau komentar bernada pesimis
terhadap apa yang kita lakukan. Bisa juga kondisi tubuh kita yang tidak
sempurna, usia yang tak lagi muda atau pendidikan yang tidak tinggi. Ia
adalah apa yang kita miliki atau tidak kita miliki pada saat ini yang sering
dijadikan alasan untuk mengerdilkan potensi kita lalu menganggapnya sebagai
“sudah nasib saya” atau “sudah takdir saya”. Padahal, siapa tahu, kita
ditakdirkan lebih baik dari keadaan sekarang dengan sedikit bekerja atau
berjuang lebih keras!

Maka, beruntunglah Tukul bukan pinjal. Ia tidak mau rencana suksesnya
terhambat oleh kotak korek api berupa kata-kata yang meremehkan, mencaci dan
mencibirnya. Beruntung pula dia punya semangat, motivasi yang kuat dan mimpi
sukses yang mampu memerdekakan dirinya dari kungkungan kotak korek api tadi.
Bila saja Tukul menyerah pada nasib, sampai rambutnya ubanan pun ia akan
menganggap menjadi sopir pribadi atau pemanggul lampu shooting video sebagai
profesi yang pantas untuk terus disandang wong ndeso miskin seperti dirinya.
Tentunya Tukul tidak sendirian. Lihatlah bagaimana kegigihan Kuntowijoyo
(alm.), seorang ilmuwan, budayawan sekaligus sastrawan. Kendati lumpuh dan
hanya mampu menggerakkan dua jari tangannya untuk mengetik, setelah
sebelumnya mengalami serangan stroke, beliau tetap menulis dan melahirkan
karya-karya besar. Kuntowijoyo tidak menyerah pada kotak korek api
kelumpuhan.

Begitu pun Kolonel Sanders yang sukses membangun jaringan bisnis fast food
setelah usianya melampaui 62 tahun. Atau, Andre Wongso yang tidak menamatkan
sekolah dasar namun mampu menjadi motivator nomor satu di Indonesia. Atau,
Stephen Hawking, Lucasian Professor of Mathematics di Cambridge University
-sebuah jabatan paling bergengsi yang pernah dijabat Sir Isaac Newton- yang
tergolek di atas kursi roda, bahkan untuk bicara pun menggunakan pensintesa
suara, namun tetap mengajar dan ceramahnya tentang teori penciptaan alam
semesta dinanti-nanti orang di seluruh dunia.
Kini terserah Anda, mau jadi Tukul atau pinjal. Tapi, sebelum menentukan
pilihan, ada baiknya Anda tahu persis apa saja yang menjadi kotak korek api
dalam hidup Anda. Dan, yang tak kalah penting, Anda juga harus tahu apa
mimpi sukses Anda.

Dikirim oleh Nanang

Email : nanangsubargung[at]gmail.com

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda